Pages

Sabtu, 06 Oktober 2012

Hai langit!
Apa kabarmu? Baik kah?
Apakah kau tidak rindu pada kekasihmu, bumi?

Hai langit!
Lihatlah dia.
Dia begitu gersang menunggu suratmu.
Surat rindumu kepadanya.

Hai Langit!
Apakah kau tidak kasihan kepada bumi?
Tanpa suratmu dia sekarat.
Tak berdaya.

Sabtu, 22 September 2012

Hai tomboy!
Kemarin kamu terlihat cantik
Dengan rambutmu yang terikat seperti ekor kuda
Membuatku selalu melirikmu dan memerhatikanmu

Aura kecantikanmu membuatku terpesona
Seperti bau tanah yang basah karena hujan
Begitu memikat

Hai tomboy!
Entah kenapa aku tertarik padamu
Bahkan aku pun jatuh cinta padamu

Padahal kamu sangat cuek
Sehingga aku hanya berani memendam rasa itu
Entah sampai kapan

Berharap tidak terlalu lama aku memendamnya

Minggu, 17 Juni 2012

Copas dari postingan temen euy :)
Semoga bermanfaat!!

****

Dalam menyikapi writer’s block, saya selalu merujuk kepada sebuah pepatah lama: sedia payung sebelum hujan. Ya, menurut saya, cara terbaik untuk menghindari writer’s block adalah persiapan yang memadai. Jika payung kita anggapkan sebagai perkakas menghindari hujan; dalam bayangan saya, tentu ada juga perkakas yang dibutuhkan seorang penulis ketika hendak menulis. Perkakas inilah yang saya pikir barangkali bisa membebaskan diri kita dari writer’s block.
Pertama-tama, setelah beberapa kali menderita writer’s block ini, saya selalu menghindari diri menulis saat saya belum tahu apa atau bagaimana saya akan menulis. Bagi saya jauh lebih mudah untuk duduk dan memikirkan gagasan tulisan sebelum menghadapi layar komputer. Jika otak saya tidak cukup memadai (karena lelah, misalnya) untuk membayangkan apa yang akan saya tulis, saya ambil kertas dan membuat catatan.
Paling tidak ada tiga hal yang selalu harus saya ketahui sebelum menulis: permasalahan yang hendak ditulis, perkembangan permasalahan tersebut, dan tentu saja, bagaimana menyelesaikan permasalahan itu. Ketiga resep itu berlaku untuk tulisan apa pun. Cerita pendek, novel, makalah, bahkan mungkin sekadar tulisan di blog. Tiga hal ini saya anggapkan sebagai perkakas dasar untuk saya bawa ketika menulis. Kalau sudah mengetahui hal ini, saya percaya, delapan puluh persen tak akan ada writer’s block.
Meskipun begitu, tentu selalu ada dua puluh persen yang tak terduga! Tak jarang terjadi, penulis yang paling siap pun, tiba-tiba macet di tengah perjalanan. Terjebak di tengah keruwetan yang diciptakannya sendiri, dan satu-satunya cara untuk membebaskan diri, hanyalah menciptakan sejenis lubang cacing yang bisa membawa kita keluar dari sana.
Sejauh yang saya alami, ada beberapa titik dimana saya terjebak tak bisa melangkah lebih jauh:

1. Paragraf Pertama

Benar, paragraf pertama selalu merupakan sandungan pertama yang serius. Jika mengibaratkan tulisan kita sebagai toko, maka paragraf pertama adalah senyum sang pelayan. Senyum itu harus begitu tulus, tidak dibuat-buat, dan tentu saja tidak murahan. Karena demikian banyak tuntutan, ya, akhirnya sulit pula untuk dikerjakan. Saya punya kebiasaan menengok sepuluh atau dua puluh buku, hanya untuk meneliti paragraf pertamanya, dan mencoba memahami mengapa paragraf mereka begitu menarik, begitu membuat saya ingin membaca lanjutannya. Kadang-kadang saya berhasil mencontek salah satu dari mereka, mengubahnya sedikit, dan jadilah paragraf pertama saya yang tampak orisinil. Saya pikir ini trik yang sangat halal.

2. Klise

Sering terjadi, saya sudah menulis belasan halaman, atau bahkan puluhan halaman, dan tiba-tiba kehilangan semangat untuk melanjutkannya. Hmm, jika itu terjadi, biasanya saya langsung curiga bahwa saya telah menulis sesuatu yang membosankan. Sebelum pembaca merasa bosan dengan sebuah tulisan, pada dasarnya rasa bosan itu dengan mudah bisa dirasakan terlebih dahulu oleh seorang penulis. Namun ya, hanya sedikit penulis yang mau mengakui tulisannya membosankan. Bagi saya, jika saya merasa apa yang saya tulis sudah mulai membosankan, kecurigaan saya berlanjut dengan kewaspadaan adanya klise.

3. Tercerabut dari Tulisan

Karena satu atau banyak hal, sering seorang penulis harus meninggalkan sebuah tulisan di tengah jalan. Ketika ia kembali lagi ke tulisan itu, ia malah bingung dengan apa yang sedang ditulisnya. Writer’s block sering muncul pula karena hal ini. Bagi saya, itu ibarat kita tercerabut dari sebuah tulisan, dan kita kehilangan sentuhan baik dengan atmosfirnya, maupun dengan karakter-karakter di dalamnya (jika itu karya fiksi). Satu-satunya cara yang biasa saya lakukan, saya mencetak seluruh yang sudah saya tulis. Lalu membacanya berkali-kali, kadang-kadang sambil mengoreksinya, sampai saya mulai masuk kembali ke atmosfir tulisan tersebut. Biasanya menjadi lebih mudah kalau saya meninggalkan catatan apa yang belum sempat saya tulis, sebelum sebuah tulisan saya tinggalkan untuk sementara. Semacam remah yang kita tinggalkan untuk jalan pulang …

4. Tersesat

Dan adakalanya, meskipun saya sudah memiliki rancangan mengenai apa yang akan saya tulis, di tengah jalan tiba-tiba saya menemukan sejenis jalan yang lebih asyik. Saya meninggalkan jalan raya yang telah saya kenali, untuk tersesat di sebuah jalan yang elok namun tak menentu. Jika ini terjadi, ada dua kemungkinan yang bisa saya lakukan. Pertama, kembali ke jalan semula. Kedua, mencoba membuat peta baru, dalam arti, membangun rancangan tulisan baru yang didasarkan atas penjelajahan yang baru itu. Tentu saja ini hanya mungkin jika saya tahu bahwa saya sudah tersesat!
Sejauh ini, itulah yang sering terjadi pada saya. Ke depan, saya yakin banyak perkara lain yang bisa membuat seorang penulis terjebak di dalam writer’s block. Sejauh yang saya pahami, writer’s block dalam berbagai bentuk dan penyebabnya, hanya bisa diatasi oleh kesadaran bahwa kita tengah mengalami writer’s block dan bersiap-siap untuk mengakui bahwa kesalahan pertama-tama datang dari diri sendiri.
Selebihnya? Saya ingin mengutip pernyataan William Faulkner, “I only write when I am inspired. Fortunately I am inspired at 9 o’clock every morning.” Artinya? Ya, jangan maksa. Kalau sedang tak ingin menulis, tak perlu menulis. Itu saja.

Sabtu, 10 Maret 2012

Kotak pandora yang ayu itu beralaskan permadani sutra.
Berhiaskan batu intan yang berkilauan.
Berisikan kenangan – kenangan yang indah.
Kenangan indah tentangmu pastinya.

Kenangan itu tersimpan rapi di dalamnya.
Terkadang kenangan itu muncul dan menghantuiku di dalam mimpi.
Namun kenangan itu terlalu indah untuk dihanyutkan ke arus waktu.

Karena kenangan itu satu – satunya hal yang membuatku ingat
Bahwa aku masih mencintaimu,
Entah kenapa dan bagaimana.


Senin, 23 Januari 2012

Hah, hari ini aku membuat sebuah masalah besar dengan perkataanku. Aku memang orangnya ceplas - ceplos, suka seenaknya sendiri saat berbicara. Selama ini aku merasa biasa saja, tapi tadi aku melakukan kesalahan besar dan menimbulkan masalah gara - gara mulut yang susah dikendalikan ini. Sebuah kesalahan yang fatal sehingga aku merusak hubungan seseorang dengan orang lain.

Entahlah, aku bingung mau melakukan apa. Semua sudah terlanjur. Dan ternyata memang benar sebelum berbicara kita harus memikirkannya dulu.

Berharap bisa menjadi lebih baik melalui kesalahan dan masalah ini.  Amin

Senin, 16 Januari 2012

Lihat bunga - bunga itu mulai layu dan hendak mati
Apa kau tak merawatnya dengan penuh sayang hingga itu??
Kalau begitu kau tak pantas untuk disebut pengebun

Lihat rakyat - rakyatmu itu
Mereka miskin dan kelaparan
Apa kau tak memberinya kesejahteraan??
Mana janji - janjimu??
Kalau begitu kau tak pantas untuk disebut pemerintah

Senin, 02 Januari 2012

Aku terjebak karena hujan dengan teman - temanku, sehingga kita harus berdiam diri di dalam ruang kelas. Aku hanya diam dan memperhatikan mereka yang sedang asyik membicarakan tentang saudaranya, entah tentang kakaknya yang sukses atau adiknya yang lucu. Mereka sangat senang dengan tema pembicaraan itu, sedangkan aku memperhatikan cerita mereka yang membuat aku iri. Dan saat mereka mulai lelah dengan cerita mereka, mereka melihatku seakan menyuruhku untuk cerita tentang hal yang sama. Lalu aku tersenyum dan berkata "Maaf, aku anak tunggal." Sambil melihat mereka agak kaget, aku pergi keluar kelas dan memandangi tiap titik hujan yang turun. Pembicaraan mereka hanya membuatku iri dengan apa yang mereka sebut saudara.

Di suatu hari aku bersepeda mengelilingi kampung sambil menikmati pemandangan sawah yang ditumbuhi oleh padi - padi yang sedang menguning. Dan tak sengaja aku melihat anak kecil dengan kakaknya yang bermain di pinggir jalan sambil berlari - larian. Dalam hatiku, aku iri dengan mereka. Aku berhenti dan duduk di sebuah gubuk sambil membayangkan mempunyai adik yang bisa diajak bermain dan tertawa bersama. Di saat itu aku benar - benar merasa iri dan kesepian. Dulu sebenernya aku mau punya adik, tapi saat ibuku hamil 4 bulan, ada masalah dengan kandungannya sehingga harus dioperasi. Akibatnya aku jadi anak tunggal permanen.


Banyak orang mengira kalau jadi anak tunggal itu enak, selalu dimanja oleh orang tua dan dituruti semua keinginannya. Tapi menurutku itu adalah pendapat yang salah. Jadi anak tunggal itu kesepian, gak ada temen buat curhat, dan mempunyai tanggung jawab yang berat untuk membahagiakan orang tua. Jadi beruntunglah kalian yang mempunyai saudara.

Iri dengan keakraban mereka
 
Copyright (c) 2010 My Life, My Story. Design by Wordpress Themes.

Themes Lovers, Download Blogger Templates And Blogger Templates.