Copas dari postingan temen euy :)
Semoga bermanfaat!!
****
Dalam menyikapi writer’s block, saya selalu merujuk kepada
sebuah pepatah lama: sedia payung sebelum hujan. Ya, menurut saya, cara
terbaik untuk menghindari writer’s block adalah persiapan yang memadai.
Jika payung kita anggapkan sebagai perkakas menghindari hujan; dalam
bayangan saya, tentu ada juga perkakas yang dibutuhkan seorang penulis
ketika hendak menulis. Perkakas inilah yang saya pikir barangkali bisa
membebaskan diri kita dari writer’s block.
Pertama-tama, setelah
beberapa kali menderita writer’s block ini, saya selalu menghindari diri
menulis saat saya belum tahu apa atau bagaimana saya akan menulis. Bagi
saya jauh lebih mudah untuk duduk dan memikirkan gagasan tulisan
sebelum menghadapi layar komputer. Jika otak saya tidak cukup memadai
(karena lelah, misalnya) untuk membayangkan apa yang akan saya tulis,
saya ambil kertas dan membuat catatan.
Paling tidak ada tiga hal
yang selalu harus saya ketahui sebelum menulis: permasalahan yang hendak
ditulis, perkembangan permasalahan tersebut, dan tentu saja, bagaimana
menyelesaikan permasalahan itu. Ketiga resep itu berlaku untuk tulisan
apa pun. Cerita pendek, novel, makalah, bahkan mungkin sekadar tulisan
di blog. Tiga hal ini saya anggapkan sebagai perkakas dasar untuk saya
bawa ketika menulis. Kalau sudah mengetahui hal ini, saya percaya,
delapan puluh persen tak akan ada writer’s block.
Meskipun begitu,
tentu selalu ada dua puluh persen yang tak terduga! Tak jarang terjadi,
penulis yang paling siap pun, tiba-tiba macet di tengah perjalanan.
Terjebak di tengah keruwetan yang diciptakannya sendiri, dan
satu-satunya cara untuk membebaskan diri, hanyalah menciptakan sejenis
lubang cacing yang bisa membawa kita keluar dari sana.
Sejauh yang saya alami, ada beberapa titik dimana saya terjebak tak bisa melangkah lebih jauh:
1. Paragraf Pertama
Benar,
paragraf pertama selalu merupakan sandungan pertama yang serius. Jika
mengibaratkan tulisan kita sebagai toko, maka paragraf pertama adalah
senyum sang pelayan. Senyum itu harus begitu tulus, tidak dibuat-buat,
dan tentu saja tidak murahan. Karena demikian banyak tuntutan, ya,
akhirnya sulit pula untuk dikerjakan. Saya punya kebiasaan menengok
sepuluh atau dua puluh buku, hanya untuk meneliti paragraf pertamanya,
dan mencoba memahami mengapa paragraf mereka begitu menarik, begitu
membuat saya ingin membaca lanjutannya. Kadang-kadang saya berhasil
mencontek salah satu dari mereka, mengubahnya sedikit, dan jadilah
paragraf pertama saya yang tampak orisinil. Saya pikir ini trik yang
sangat halal.
2. Klise
Sering terjadi, saya sudah
menulis belasan halaman, atau bahkan puluhan halaman, dan tiba-tiba
kehilangan semangat untuk melanjutkannya. Hmm, jika itu terjadi,
biasanya saya langsung curiga bahwa saya telah menulis sesuatu yang
membosankan. Sebelum pembaca merasa bosan dengan sebuah tulisan, pada
dasarnya rasa bosan itu dengan mudah bisa dirasakan terlebih dahulu oleh
seorang penulis. Namun ya, hanya sedikit penulis yang mau mengakui
tulisannya membosankan. Bagi saya, jika saya merasa apa yang saya tulis
sudah mulai membosankan, kecurigaan saya berlanjut dengan kewaspadaan
adanya klise.
3. Tercerabut dari Tulisan
Karena
satu atau banyak hal, sering seorang penulis harus meninggalkan sebuah
tulisan di tengah jalan. Ketika ia kembali lagi ke tulisan itu, ia malah
bingung dengan apa yang sedang ditulisnya. Writer’s block sering muncul
pula karena hal ini. Bagi saya, itu ibarat kita tercerabut dari sebuah
tulisan, dan kita kehilangan sentuhan baik dengan atmosfirnya, maupun
dengan karakter-karakter di dalamnya (jika itu karya fiksi).
Satu-satunya cara yang biasa saya lakukan, saya mencetak seluruh yang
sudah saya tulis. Lalu membacanya berkali-kali, kadang-kadang sambil
mengoreksinya, sampai saya mulai masuk kembali ke atmosfir tulisan
tersebut. Biasanya menjadi lebih mudah kalau saya meninggalkan catatan
apa yang belum sempat saya tulis, sebelum sebuah tulisan saya tinggalkan
untuk sementara. Semacam remah yang kita tinggalkan untuk jalan pulang …
4. Tersesat
Dan
adakalanya, meskipun saya sudah memiliki rancangan mengenai apa yang
akan saya tulis, di tengah jalan tiba-tiba saya menemukan sejenis jalan
yang lebih asyik. Saya meninggalkan jalan raya yang telah saya kenali,
untuk tersesat di sebuah jalan yang elok namun tak menentu. Jika ini
terjadi, ada dua kemungkinan yang bisa saya lakukan. Pertama, kembali ke
jalan semula. Kedua, mencoba membuat peta baru, dalam arti, membangun
rancangan tulisan baru yang didasarkan atas penjelajahan yang baru itu.
Tentu saja ini hanya mungkin jika saya tahu bahwa saya sudah tersesat!
Sejauh
ini, itulah yang sering terjadi pada saya. Ke depan, saya yakin banyak
perkara lain yang bisa membuat seorang penulis terjebak di dalam
writer’s block. Sejauh yang saya pahami, writer’s block dalam berbagai
bentuk dan penyebabnya, hanya bisa diatasi oleh kesadaran bahwa kita
tengah mengalami writer’s block dan bersiap-siap untuk mengakui bahwa
kesalahan pertama-tama datang dari diri sendiri.
Selebihnya? Saya
ingin mengutip pernyataan William Faulkner, “I only write when I am
inspired. Fortunately I am inspired at 9 o’clock every morning.”
Artinya? Ya, jangan maksa. Kalau sedang tak ingin menulis, tak perlu
menulis. Itu saja.